Mudik itu …
Relia
Ariani
Mudik??
Iya mudik .. Mudik adalah salah satu rutinitas bagi beberapa orang menjelang
hari raya atau hari-hari besar lainnya. Mudik tentunya identik dengan libur.
Kali ini libur karena menyambut hari raya idul fitri 1435 hijriah. Tentu banyak
orang-orang dari desa meninggalkan kampung mereka untuk beberapa alasan.
Diantarannya mencari pekerjaan yang lebih layak, bersekolah, atau kegiatan
lainnya. Salah satunya adalah saya, sudah 6 tahun saya meninggalkan kapung
halaman untuk bersekolah di salah satu SMA ternama di kota Palembang. Mudik
menjelang hari raya adalah rutinitas saya setiap tahunnya.Bagi saya mudik bukan
hanya sekedar berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Tetapi juga untuk
menikmatai Indahnya alam sumatera.
Aku
memulai perjalanan mudik kali ini dari rumah. Karena aku menggunakan jasa
travel untuk mengantarku sampai ke kampung halaman yang berada di Pendopo
Lintang kabupaten Empat Lawang. Aku berangkat dari rumah pukul 10 pagi. Kali
ini aku tidak sendirian, karena ada teman satu kampung ku yang juga bersekolah
di Palembang. Keluar dari kota Palembang aku merasakan ada sedikit kekurangan
di mudik kali ini, apa ya?? Ternyata kekurangannya adalah ‘macet’. Macet
merupakan salah satu masalah dalam perjalanan, karena membuat waktu tempuh
lebih lama. Tapi kali ini jalan dari Palembang Indralaya cukup lenggang.
Satu
jam kemudian kami memasuki kabupaten Ogan Ilir dengan Indralaya sebagai Ibu
kotanya. Tidak ada yang special dari kota ini, karena hutan-hutan yang kami
lalui masih hutan rawa. Satu jam kemudian kami memasuki kota Prabumulih, masih
belum ada yang special. Dua jam kemudian masuk ke kota Muara enim, disini
keindahan alam sumatera mulai terlihat. Terutama saat keluar dari muara enim
yang membutuhkan waktu dua jam menuju kota Lahat.
Hamparan sawah yang sedang
menguning, seolah siap untuk di panen, jalanan yang curam dan berliku menjadi
tradisi di setiap detiknya. Senyum tak pernah pudar saat menyaksikan Indahnna
alam ciptaan tuhan yang sungguh luar biasa. Perjalanan dari Muara Enim menuju
Lahat tak pernah kuhabiskan untuk tidur. Setibanya di kota Lahat, kami disambut
oleh sebuah bukit yang disebut ‘bukit telunjuk’ sebetulnya bukit ini tidak
terlalu menyerupai telunjuk, melainkan lebih merupai jari jempol manusia, yang
sedang menggengam empat jari lainnya.
Keluar dari Lahat membutuhkan waktu
dua jam menuju kota ‘bunga’ Pagaralam. Perjalanan masih di temani oleh jalan
yang berliku dan curam, karena sudah mulai masuk wilayah perbukitan. Disinilah
kita bisa melihat tanaman yang secara biologis sangat di kenal di Indonesia,
yang menjadi tanaman endemic hutan sumatera. Tanaman itu adalah pepohonan besar
dengan cabang-cabangnnya yang menjulang nan hijau ditambah akar gantungnya yang
menjulur panjang. Tanaman ini disebut hutan hujan tropis. Waw! Sungguh bangga
menjadi warga Indonesia. Bisa melihat dengan leluasa hijaunya alam Indonesia.
Bukan hanya itu, terkadang aku
melihat monyet-monyet liar ekor panjang yang menjadi monyet endemic sumatera
melintas dan bermain di sekitar jalan. Hal itu menunjukan bahwa kami berada di
salah satu bukit barisan sumatera. Ya, kota Pagaralam merupakan salah satu kota
di wilayah perbukitan. Satu jam sebelum memasuki Pagaralam(tidak lagi di
lahat), ada sebuah liku atau kelok yang begitu tajam, mungkin warga sumatera
selatan sering mendengar nama kelok ini, namanya adalah ‘kelok endikat’
merupakan kelok yang menjadi pembatas antara kota Pagaralam dan Lahat. Jika
beruntung, kita akan melihat air terjun di seberangnya.
Apa yang membuat aku begitu bangga
melintasi kelok ini? Jawabannya adalah Indah, keindahan dari seberang sebelum
melintasi kelok endikat sudah terlihat, bahkan jalan yang berkelok tajam itu
sudah sangat terlihat sebelum kami melintasi jembatan. Tak hentinya bersyukur
menikmati keindahan yang tuhan berikan.
Perjalanan masih terus berlanjut
dengan jalan yang menanjak dan berliku. Beberapa menit kemudian kami kembali
melintasi sebuah kelok yang mengucapkan selamat datang di kota Pagaralam. Kelok
atau Liku Lematang, merupakan salah satu liku yang sangat eksis di telinga
warga Sumatera selatan. Disini mulai di temui tanaman-tanaman yang tentunya tak
di temukan di kota besar seperti Palembang. Alam nan hijau, udara nan sejuk
seolah mebwa saya menyatu dengan alam, sekali lagi ‘Subhanallah’.
Gunung dempo pun semakin menampakan
lerengnnya pertanda kami sudah dekat dengan kota, sebuah kota administrative
yang asri sengan cuaca khas pegunungan. Aku selalu menanamkan sebuah impian di
kota ini, berharap suatu saat di beri izin oleh orang tua untuk mendaki megahnya
puncak rimau gunung dempo, yang merupakan gunung tertinggi ke dua di sumatera.
Keluar dari kota pagar alam
membutuhkan waktu satu jam menuju kampung halaman ‘Pendopo Lintang kabupaten
Empat Lawang’ sebuah kampung yang identik dengan kopi sumatera yang hitam dan
kaya akan cita rasa khas Indonesia. Penduduknya pun ramah dan sedikit unik
dengan bahasa mereka, yang kadang membuat ku tertawa. Sebuah desa yang
sederhana dan sedang melakukan pembangunan di berbagai wilayahnya. Sebuah desa
yang selalu mengajarkan ku banyak hal, sebuah desa yang tak bisa ku lukiskan
dengan kata.
Tuhan pasti memberikan alasan
tertentu mengapa alam ini di ciptakan dengan Indah, salah satunya adalah untuk
kita nimkati, bukan untuk dirusak atau di bakar. Karena hutan Indonesia tidak
bisa di temukan di Negara lain, bahkan amazon sekalipun. Hutan Indonesia adalah
hutan yang mnyimpa seribu makna dan sejuta kekayaan di dalamnya, dan akan kita
mengerti jika kita menikmati di setiap meternya.